Perubahan dan dinamika sosial dapat terjadi pada skala dan spektrum yang sangat luas, demikian juga waktu, dapat singkat yang hanya beberapa tahun tetapi juga dapat sampai ratusan tahun. Jadi studi atau diskusi perubahan dan dinamika sosial juga dapat mengambil topik yang sangat sepesifik dengan skala yang kecil atau dapat juga topik luas dengan skala yang sangat luas (dunia) atau kombinasi itu semua. Contoh yang benar-benar terjadi (skala, waktu, tempat bebas) perubahan sosial yang berkaitan dengan pengelolaan SDA dan/atau lingkungan hidup akan coba diuraikan pada tulisan ini.
Pengendalian Hama Terpadu sebuah Kearifan Lokal |
Dalam mejawab persoalan ini saya mencoba mengambil dari pengalaman empiris karena dari kecil hidup di lingkungan mereka, juga diperkaya informasi yang saya dapatkan ketika membina para petani sejak beberapa tahun lalu. Saya berharap ini akan relevan. Paling tidak sebagai improvisasi dari ilmu yang saya dapat melalui perkuliahan ini untuk dapat lebih memandang “kenyataan” yang terjadi dilingkungan saya.
Dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya pertanian, introduksi teknologi tidak dapat berlangsung cepat. Pada tahun 80 an, penggunaan teknologi mekanisasi pertanian masih belum diminati oleh masyarakat petani sawah di Kabupaten Bengkulu Utara, seperti di hamparan Kemumu dan di Kurotidur. Mereka masih memanfaatkan tenaga sapi untuk membajak sawah. Program Bimas digencarkan dengan Panca Usaha Tani. Bahkan pelaksanaannya terkesan dipaksakan. Bupati turun langsung ke lokasi sentra produksi padi. Bagi yang tidak melaksanakan akan mendapatkan sangsi. PPL menjadi ujung tombak berhasil atau tidaknya program ini.
Masyarakat masih enggan mengadopsi teknologi tersebut, terutama pada pemupukan (meskipun pupuk diterima secara gratis), karena terjadi perubahan pola tanam dan berbenturan dengan keyakinan mereka. Selama ini pola tanam padi- bera- palawija diintensifkan IP mendekati 300 dengan padi-padi-palawija. Dampaknya banyak aktivitas yang terganggu. Biasanya setelah panen banyak kegiatan sosial, seperti pernikahan, sunatan dan lain sebagainya. Termasuk bergotong royong kalu ada pembangunan masjid atau sarana umum lainnya. Masyarakat masih mempercayai adanya Dewi Sri yang mengejawantah pada tanaman padi. Sehingga untuk pelaksanaan kegiatan pengolahan tanah, pembibitan, penanaman hingga panen, ada tahapan upacara yang harus dilalui. Tahapan ini juga sangat berkait erat dengan musim, untuk masyarakat jawa dikenal dengan pranata mangsa. Untuk penduduk asli bengkulu yang ada di sekitar lokasi tersebut juga memiliki meskipun belum terjadi pembakuan sebagaimana masyarakat jawa. Mereka juga memiliki kalender musim, saat yang tepat untuk turun sawah.
Pada akhir-akhir ini, telah terjadi regenerasi pelaku petani. Mereka sangat bergantung dengan teknologi mekanisasi. Sapi tidak lagi dipergunakan untuk membajak. Pembajak yang menggunakan sapi tidak diminati. Alasannya adalah lebih lama proses membajak tanah hingga menggaru. Jika menggunakan tenaga traktor lebih cepat, selisih biaya juga tidak seberapa. Tuntutan untuk pengolahan lebih cepat rupaya untuk penghematan air dan bagi si pemilik lahan tidak disibukkan dengan kegiatan penyediaan konsumsi. Karena biasanya pada traktor pekerjaan dilaksanakan dengan sistim borongan. Sementara jika membajak dengan tenaga sapi atau kerbau sistim harian.
Untuk benih dan pupuk, telah menggunakan padi unggul nasional. Selama ini disuplai oleh pemerintah dengan bekerjasama dengan PT Pertani. Ada beberapa kelompok di wilayah itu yang menjadi penangkar. Benih unggul label ungu atau label putih telah disediakan oleh PT Pertani, petani tinggal melakukan penangkaran. Bagi petani lain dapat memperoleh benih label biru yang dikeluarkan oleh PT Pertani hasil penangkaran kelompok petani penangkar benih tersebut.
Keyakinan telah bergeser. Tidak ada lagi cerita tentang Dewi Seri. Hilangnya keyakinan ini juga bebarengan dengan hilangnya kekayaan benih lokal dan ilmu perbenihan di masyarakat. Petani tidak dapat menghasilkan bibit yang baik secara mandiri. Petani tergantung dengan bibit unggul dari pemerintah. Ini dampak buruk dari salah satu panca usaha tani penggunaan benih unggul. Saat ini tidak ditemukan kembali beras lokal, seperti beras kemumu, beras lebong, beras seginim, beras talang benih dan lain sebagainya yang memiliki kekhasan tersendiri. Jika di kemumu menanam Ciherang, maka di Seginim dan di Lebong juga menanam Ciherang. Karena ini program Pemerintah, bantuan bibit langsung ke petani.
Petani sudah sangat bergantung dengan pupuk. Sekarang tidak perlu dipaksakan, bahkan petani sendiri yang memaksakan diri. Ketika terjadi kelangkaan pupuk pada tahun 2008 lalu, untuk membeli pupuk berani mejual ternak. Padahal ketika panen belum tentu mendapatkah hasil yang dapat untuk membeli ternak kembali. Perubahan ini tidak membutuhkan waktu yang lama, sekitar ¼ abad saja. Ternyata perubahan ini juga terjadi hampir di wilayah Indonesia yang menjadi sasaran Bimas. Keberhasilan revolusi hijau pada jaman orde baru.
Dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya pertanian, introduksi teknologi tidak dapat berlangsung cepat. Pada tahun 80 an, penggunaan teknologi mekanisasi pertanian masih belum diminati oleh masyarakat petani sawah di Kabupaten Bengkulu Utara, seperti di hamparan Kemumu dan di Kurotidur. Mereka masih memanfaatkan tenaga sapi untuk membajak sawah. Program Bimas digencarkan dengan Panca Usaha Tani. Bahkan pelaksanaannya terkesan dipaksakan. Bupati turun langsung ke lokasi sentra produksi padi. Bagi yang tidak melaksanakan akan mendapatkan sangsi. PPL menjadi ujung tombak berhasil atau tidaknya program ini.
Masyarakat masih enggan mengadopsi teknologi tersebut, terutama pada pemupukan (meskipun pupuk diterima secara gratis), karena terjadi perubahan pola tanam dan berbenturan dengan keyakinan mereka. Selama ini pola tanam padi- bera- palawija diintensifkan IP mendekati 300 dengan padi-padi-palawija. Dampaknya banyak aktivitas yang terganggu. Biasanya setelah panen banyak kegiatan sosial, seperti pernikahan, sunatan dan lain sebagainya. Termasuk bergotong royong kalu ada pembangunan masjid atau sarana umum lainnya. Masyarakat masih mempercayai adanya Dewi Sri yang mengejawantah pada tanaman padi. Sehingga untuk pelaksanaan kegiatan pengolahan tanah, pembibitan, penanaman hingga panen, ada tahapan upacara yang harus dilalui. Tahapan ini juga sangat berkait erat dengan musim, untuk masyarakat jawa dikenal dengan pranata mangsa. Untuk penduduk asli bengkulu yang ada di sekitar lokasi tersebut juga memiliki meskipun belum terjadi pembakuan sebagaimana masyarakat jawa. Mereka juga memiliki kalender musim, saat yang tepat untuk turun sawah.
Pada akhir-akhir ini, telah terjadi regenerasi pelaku petani. Mereka sangat bergantung dengan teknologi mekanisasi. Sapi tidak lagi dipergunakan untuk membajak. Pembajak yang menggunakan sapi tidak diminati. Alasannya adalah lebih lama proses membajak tanah hingga menggaru. Jika menggunakan tenaga traktor lebih cepat, selisih biaya juga tidak seberapa. Tuntutan untuk pengolahan lebih cepat rupaya untuk penghematan air dan bagi si pemilik lahan tidak disibukkan dengan kegiatan penyediaan konsumsi. Karena biasanya pada traktor pekerjaan dilaksanakan dengan sistim borongan. Sementara jika membajak dengan tenaga sapi atau kerbau sistim harian.
Untuk benih dan pupuk, telah menggunakan padi unggul nasional. Selama ini disuplai oleh pemerintah dengan bekerjasama dengan PT Pertani. Ada beberapa kelompok di wilayah itu yang menjadi penangkar. Benih unggul label ungu atau label putih telah disediakan oleh PT Pertani, petani tinggal melakukan penangkaran. Bagi petani lain dapat memperoleh benih label biru yang dikeluarkan oleh PT Pertani hasil penangkaran kelompok petani penangkar benih tersebut.
Keyakinan telah bergeser. Tidak ada lagi cerita tentang Dewi Seri. Hilangnya keyakinan ini juga bebarengan dengan hilangnya kekayaan benih lokal dan ilmu perbenihan di masyarakat. Petani tidak dapat menghasilkan bibit yang baik secara mandiri. Petani tergantung dengan bibit unggul dari pemerintah. Ini dampak buruk dari salah satu panca usaha tani penggunaan benih unggul. Saat ini tidak ditemukan kembali beras lokal, seperti beras kemumu, beras lebong, beras seginim, beras talang benih dan lain sebagainya yang memiliki kekhasan tersendiri. Jika di kemumu menanam Ciherang, maka di Seginim dan di Lebong juga menanam Ciherang. Karena ini program Pemerintah, bantuan bibit langsung ke petani.
Petani sudah sangat bergantung dengan pupuk. Sekarang tidak perlu dipaksakan, bahkan petani sendiri yang memaksakan diri. Ketika terjadi kelangkaan pupuk pada tahun 2008 lalu, untuk membeli pupuk berani mejual ternak. Padahal ketika panen belum tentu mendapatkah hasil yang dapat untuk membeli ternak kembali. Perubahan ini tidak membutuhkan waktu yang lama, sekitar ¼ abad saja. Ternyata perubahan ini juga terjadi hampir di wilayah Indonesia yang menjadi sasaran Bimas. Keberhasilan revolusi hijau pada jaman orde baru.
Tetapi ada sisi lain kelembaman masyarakat untuk melakukan perubahan. Meskipun di zaman orde baru merupakan zaman beras, yang identik dengan setatus sosial. Jika tidak makan beras masih dianggap miskin. Cireundeu memiliki keistimewaan sebagaimana dilaporkan oleh Ninuk M Pambudy (Kompas.com, 15 Oktober 2010). Separuh warga masih teguh menjaga wejangan nenek moyang mereka sejak 1924 untuk tidak makan nasi beras. Lokasinya tidak jauh dari daerah lumbung beras di pulau jawa, berada di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat,
Sebagai ganti beras, mereka mengonsumsi rasi sebagai sumber karbohidrat. Rasi atau nasi singkong dibuat dari ampas singkong yang dijadikan tepung. Untuk menjadi rasi, tepung itu diberi air, lalu diaduk dengan tangan hingga berbulir-bulir mirip nasi beras, kemudian dikukus.
Awal mula warga menolak beras adalah nasionalisme. Saat itu para tetua adat mencari hal paling hakiki dari kemandirian di tengah penjajahan Belanda. Saat itu, untuk makan nasi beras berarti bekerja sama dengan penjajah yang ujungnya akan meminta imbalan berupa informasi. Menolak bekerja sama, akhirnya tetua adat mengajak warga memanfaatkan yang ada di sekitar mereka dan tidak mengonsumsi beras.
Perilaku ini juga tidak berubah sampai dengan saat ini. Sebuah komitmen yang luar biasa. Sehingga oleh Departemen pertanian ditetapkan sebagai desa mandiri pangan yang dapat dijadikan sebagai contoh untuk desa lain yang tidak tergantung dengan beras. Karena saat ini beras diidentikan dengan daerah miskin. Karena ada beras raskin.
Sebagai ganti beras, mereka mengonsumsi rasi sebagai sumber karbohidrat. Rasi atau nasi singkong dibuat dari ampas singkong yang dijadikan tepung. Untuk menjadi rasi, tepung itu diberi air, lalu diaduk dengan tangan hingga berbulir-bulir mirip nasi beras, kemudian dikukus.
Awal mula warga menolak beras adalah nasionalisme. Saat itu para tetua adat mencari hal paling hakiki dari kemandirian di tengah penjajahan Belanda. Saat itu, untuk makan nasi beras berarti bekerja sama dengan penjajah yang ujungnya akan meminta imbalan berupa informasi. Menolak bekerja sama, akhirnya tetua adat mengajak warga memanfaatkan yang ada di sekitar mereka dan tidak mengonsumsi beras.
Perilaku ini juga tidak berubah sampai dengan saat ini. Sebuah komitmen yang luar biasa. Sehingga oleh Departemen pertanian ditetapkan sebagai desa mandiri pangan yang dapat dijadikan sebagai contoh untuk desa lain yang tidak tergantung dengan beras. Karena saat ini beras diidentikan dengan daerah miskin. Karena ada beras raskin.
0 Komentar
Terima kasih telah mengunjungi blog ini. Silahkan masukkan komentar anda