Oleh : Anton Sutrisno
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Vetiver atau akar wangi |
Konversi hutan menjadi tanaman perkebunan
dalam jumlah yang sangat luas sangat mempengaruhi penyerapan air tanah.
Terutama sekali untuk tanaman sawit yang sudah dikenal dengan tanaman
yang rakus air. Akibatnya ketersediaan air tanah menjadi semakin
berkurang, yang mengganggu ketersediaan air bersih untuk kebutuhan
manusia.
Kegiatan pertanian dan perkebunan, seperti aktivitas
pemupukan, pengangkutan hasil, termasuk juga pengolahan tanah dan
aktivitas lainnya, secara komulatif telah mengakibatkan tanah tersebut
mengalami penurunan kualitas. Secara fisik, akibat kegiatan tersebut
mengakibatkan tanah menjadi bertekstur keras, tidak mampu menyerap dan
menyimpan air. Secara kimia, penggunaan herbisida dan pestisida telah
menjadi residu di dalam tanah. Demikian juga dengan pemupukan yang
biasanya menggunakan pupuk kimia dan kurang menggunaakan pupuk organik
akan mengakibatkan pencemaran air tanah, peningkatan keasaman tanah.
Secara biologis, akibat aktivitas tersebut banyak mikro organisme tanah
yang mati. Padahal organisme yang ada di dalam tanah memiliki peranan
yang sangat besar dalam siklus hara tanah.
Percepatan degradasi
lahan yang paling tampak pada lahan pertanian adalah disebabkan oleh
erosi. Lapisan atas permukaan tanah yang subur, banyak mengandung hara
dan serasah menjadi hilang terkikis oleh erosi. Kanopi daun dari tanaman
mono kultur yang ada di permukaan tanah pada lahan perkebunan tidak
mampu mengurangi hempasan air hujan. Pengelolaan gulma yang kurang ramah
terhadap lingkungan semakin mempercepat proses ini.
Erosi adalah
proses penggerusan lapisan tanah permukaan yang disebabkan oleh beberapa
hal seperti angin, air, es atau grafitasi. Air hujan jatuh di atas
permukaan tanah akan menumbuk agregat tanah menjadi partikel-partikel
tanah yang terlepas. Partikel-partikel tanah yang terlepas ini akan
terbawa oleh aliran permukaan.
Semakin besar jumlah hujan yang
jatuh, maka semakin besar pula jumlah aliran permukaan yang terjadi,
yang berarti daya penghanyutan partikel-partikel tanah yang terlepas dan
daya gerus terhadap permukaan tanah semakin besar. Dengan semakin
besarnya tanah yang tergerus, permukaan tanah semakin licin, sehingga
aliran air akan semakin kencang, semakin kecil yang tertahan di
permukaan tanah, semakin kecil yang dapat terserap ke dalam tanah.
Pada
tanah-tanah berlereng, erosi menjadi persoalan yang serius, dimana
kemiringan dan panjang lereng merupakan dua unsur yang berpengaruh
terhadap aliran permukaan dan erosi. Kemiringan lereng berpengaruh
terhadap kecepatan aliran permukaan, sehingga memperbesar daya perusakan
oleh air. Jika kecepatan aliran meningkat dua kali, maka jumlah
butir-butir tanah yang tersangkut menjadi 32 kali lipat (Arsjad, 1983).
Dan bila panjang lereng menjadi dua kali lipat, maka umumnya erosi yang
terjadi akan meningkat 1,5 kali (Nurhajati Hakim, 1986).
Cepatnya
aliran air di permukaan tanah, semakin mengurangi kesempatan untuk
terserap ke dalam tanah. Semakin lama air berada di permukaan tanah maka
akan banyak memberikan kesempatan untuk terserap ke dalam tanah. Dampak
tidak terserapnya air ke dalam tanah ini yang mengakibatkan penumpukan
air pada areal yang rendah. Jika penumpukan air ini melimpah akan
mengakibatkan banjir. Salah satu cara untuk menghambat percepatan aliran
air di permukaan tanah adalah dengan pengendalian erosi, dan membuat
perluasan permukaan penyerapan tanah.
Ada beberapa pendekatan yang
dapat dilakukan dalam pengendalian erosi: Yaitu dengan : a). metoda
kimia (penggunaan bahan pemantap tanah/soil conditioner), b). metoda
mekanik yaitu dengan pembuatan terasering, menggunakan pemasangan tembok
atau matras kawat, dsb dimana ke dua metoda tersebut berbiaya sangat
mahal. c) metoda vegetatif (dengan menggunakan tanaman), dimana
merupakan pendekatan yang bersifat “lembut” atau “hijau” yang tidak
mahal, estetis juga ramah lingkungan.
Salah satu upaya penanganan
erosi yang dibahas pada tulisan ini adalah penanganan dengan metoda
vegetatif yaitu dengan menanam vetiver (akar wangi). Vetiver yang
ditanam tidak diperbolehkan dipanen akarnya, karena justru jika hal ini
terjadi dapat menimbulkan efek yang kontradiktif, dimana terjadinya
kerusakan tanah. Akarnya yang panjang dapat menjadi pengikat antara
lapisan tanah dan lapisan kedap air.
Perluasan permukaan tanah
untuk penyerapan air dapat dilakukan dengan membuat biopori. Selama ini
biopori lebih populer untuk pengendalian bajir di perkotaan terutama di
Jabodetabek. Tidak salah jika teknologi ini diaplikasikan pada lahan
pertanian. Di Jawa Tengah, Perum Perhutani menggunakan teknologi biopori
untuk pemupukan pada kebun Murbei yang menjadi makanan ulat Sutera
(Pangestu, 2011).
Kombinasi teknologi vetiver dan biopori yang
diaplikasikan dimungkinkan untuk mengatasi laju erosi dan memperluas
penyerapan air di permukaan tanah. Kombinasi ini juga akan mempebaiki
struktur tanah, dengan meberikan kesempatan organisme tanah melakukan
dekomposisi bahan organik yang ada didalam lobang biopori. Pada tulisan
ini akan dicoba untuk membahas teknologi tersebut untuk diaplikasikan
pada lahan pertanian.
B. Rumusan Masalah
Konversi
hutan menjadi tanaman pertanian akan merubah permukaan tanah, pada
proses pembukaan lahan telah menghilangkan lapisan top soil, humus, dan
oraganisme permukaan tanah. Proses kegiatan usaha tani yang ada di
atasnya, mengakibatkan degradasi tanah secara fisik, kimia dan biologi.
Salah satu proses fisik penyebab degradasi adalah erosi. Erosi akan
berakibat mengurangi kemampuan penyerapan air ke dalam tanah. Pori-pori
tanah yang dibuat oleh organisme permukaan tanah, akar berbagai tumbuhan
hilang terkikis air hujan. Masih dapatkah tanaman perkebunan
mengendalikan erosi dengan memberikan kesempatan pada permukaan tanah
untuk melakukan percepatan penyerapan air? Dapatkah Teknologi vetiver
dan biopori memberikan pemecahan terhadap erosi dan penyerapan air
tanah? Mungkinkan teknologi vetiver dan biopori untuk mengedalikan laju
degradasi tanah pertanian dan perkebunan?
.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah:
1.
Mengetahui apakah lahan pertanian khususnya perkebunan masih efektif
mengendalikan laju erosi dan dapat menyerap air tanah sebagai upaya
pengendalian laju degradasi tanah?
2. Mencoba untuk mencari
alternatif pengendalian degradasi tanah dengan mendgedalikan erosi dan
meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah dengan mengkombinasikan
teknologi vetiver dan biopori.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Vetiver
Vetiver,
yang di Indonesia dikenal sebagai akar wangi (Vetiveria zizanioides)
atau usar (Vetiver nigritana), adalah sejenis rumput-rumputan berukuran
besar yang memiliki banyak keistimewaan. Sedangkan dalam bahasa daerah
dikenal dengan useur (Gayo), urek usa (Minang Kabau), hapias (Batak),
narwasetu atau usar (Sunda), larasetu (Jawa), karabistu (Madura),
nausina fuik (Roti), tahele (gorontalo), akadu (buol), sere ambong
(Bugis), babuwamendi (Halmahera), garamakusu batawi (Ternate),
baramakusu buta (Tidore)
Di Indonesia rumput ajaib ini baru
dimanfaatkan sebagai penghasil minyak atsiri melalui ekstraksi akar
wangi. Sentra tanaman vetiver di kabupaten Garut, Wonosobo, Pasuruan,
Lumajang dan Sleman.
Rumput vetiver dapat tumbuh di perbukitan,
dataran rendah, bahkan di daerah rawa atau pada tanah yang kondisinya
buruk (bekas tambang), baik di daerah dengan curah hujan rendah, kurang
dari 200 mm, mapun curah hujan tinggi lebih dari 3000 mm (Booth dan
Adinata, 2004).
Beberapa Negara yang mengusahakan akar wangi
adalah Brazil, India, Haiti, Kepulauan Reunion, Honduras, Guatemala,
Meksiko, Dominika dan Indonesia. Negara yang mengusahakan secara
komersial untuk kepentingan penyulingan hanya Indonesia, khususnya pulau
jawa. Ada sebagian kecil di Kepulauan Reunion. Dalam perdagangan minyak
akarwangi dikenal dengan dua nama yaitu java vetiver oil (asal Pulau
Jawa) dan reunion island vetiver oil ( asal kepulauan reunion).
Bentuk Fisik Rumput Vetiver
- Tanaman ini merupakan tanaman tahunan yang tumbuh tegak dengan tinggi 1.5 – 2.5 m .
- Sistem perakarannya dalam dan masif, mampu masuk sangat jauh kedalam tanah. Bahkan ada yang mampu menembus hingga kedalaman 5.2 meter.
- Bila ditanam di lereng-lereng keras dan berbatu, ujung-ujung akar vetiver mampu masuk menembus dan menjadi semacam jangkar yang kuat. Cara kerja akar ini seperti besi kolom yang masuk ke dalam menembus lapisan tanah, dan pada saat yang sama menahan partikel-partikel tanah dengan akar serabutnya. Kondisi seperti ini dapat mencegah erosi yang disebabkan oleh angin dan air sehingga vetiver dijuluki sebagai ”kolom hidup”.
- Batangnya kaku dan keras, tahan terhadap aliran air dalam (0.6 – 0.8 m)
- Jika ditanam berdekatan, membentuk baris/pagar yang rapat. Hal tersebut akan mengurangi kecepatan aliran, mengalihkan menahan matrial sediment dengan tanpa merubah arus air dan dapat menjadi filter yang sangat efektif.
- Tidak menghasilkan bunga dan biji yang dapat menyebar liar seperti alang-alang atau rerumputan lainnya
Syarat Tumbuh
- Toleran tumbuh di ketinggian 500 – 1500 m dpl, curah hujan 500 – 2.500 mm per tahun, suhu udara lingkungan 17 – 27oC. Membutuhkan sinar matahari yang cukup dan lahan terbuka. Kondisi lahan terbaik adalah tanah berpasir atau derah aliran gunung berapi. Meskipun pada lahan yang ekstrim masih mampu tumbuh.
- Waktu penanaman dapat sepanjang tahun, namun yang terbaik pada awal musim hujan.
Keunggulan Vetiver
Keunggulan Vetiver, antara lain :
- Tahan terhadap variasi cuaca, seperti : kekeringan panjang, banjir, genangan dan temperatur - 14º C sampai 55º C.
- Mempunyai daya adaptasi pertumbuhan yang sangat luas pada berbagai kondisi tanah, seperti :
- Pada tanah masam (mengandung mangan dan aluminium),
- Pada tanah bersalinitas tinggi dan mengandung banyak natrium,
- Pada tanah yang mengandung logam berat, seperti : Ar, Cd, Co, Cr, Pb, Hg, Ni, Se dan Zn.
- Mampu menembus lapisan keras hingga kedalaman 15 cm. Dengan kemampuan tersebut, dapat bekerja sebagai paku tanah atau pasak yang hidup.
- Vetiver sangat praktis, tidak mahal, mudah dipelihara, dan sangat efektif dalam mengontrol erosi dan sedimentasi tanah, konservasi air, serta stabilisasi dan rehabilitasi lahan
Kelemahan Vetiver
- Karena pola pertumbuhan vetiver yang tegak lurus atau vertikal terhadap tanah, maka disarankan penanamannya dikombinasikan dengan jenis tanaman penutup tanah, seperti bahia, rumput pahit (carpet grass) atau jenis kacang-kacangan (legume). Sehingga tanaman penutup tanah tersebut dapat mengurangi percikan dan aliran permukaan terutama pada awal pertumbuhan vetiver.
- Pada bagian depan, terlihat rumput Bahia menutupi permukaan tanah, sebelum tunas vetiver tumbuhnya merapat dan daunnya rimbun.
- Karena vetiver adalah tanaman hidup, sehingga tidak dapat langsung berfungsi dengan baik dalam menangani erosi permukaan. Tanaman ini masih memerlukan waktu atau suatu proses yaitu proses pertumbuhan.
- Tahan terhadap rentang pH tanah : 3 – 10.5
B. Deskripsi Biopori
Biopori
adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai
akitifitas organisma di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman,
rayap dan fauna tanah laiinya. Lubang-lubang yang terbentuk akan terisi
udara, dan akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah (Tim
Biopori IPB, 2007). Teknologi Biopori ini ditemukan oleh Ir. Kamir
Raziudin Brata MSc, peneliti dan dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumber
Daya Alam IPB tahun 1976. Sebelum di publikasikan ke masyarakat telah
digunakannya selama 20 tahun.
Secara alamiah, lubang biopori
secara alami terbentuk oleh cacing dan lubang yang terbentuk oleh
aktifitas akar tanaman. Bila lubang-lubang seperti ini dapat dibuat
dengan jumlah banyak, maka kemampuan dari sebidang tanah untuk
meresapkan air akan diharapkan semakin meningkat. Meningkatnya kemampuan
tanah dalam meresapkan air akan memperkecil peluang terjadinya aliran
air di permukaan tanah, dengan perkataan lain akan dapat mengurangi
bahaya banjir yang mungkin terjadi.
Secara alami kondisi seperti
itu dapat dijumpai pada lantai hutan dimana serasah atau bahan organik
terumpuk di bagian permukaan tanah. Bahan organik ini selanjutnya
menjadi bahan pakan (sumber energi) bagi berbagai fauna tanah untuk
melakukan aktifitasnya termasuk membentuk biopori. Pada ekosistem lantai
hutan yang baik, sebagian besar air hujan yang jatuh dipermukaannya
akan diresapkan kedalam tanah.
Ekosistem demikian dapat ditiru di
lokasi lain dengan membuat lubang vertikal kedalam tanah. Lubang-lubang
tersebut selanjutnya diisi bahan organik, seperti sampah-sampah organik
rumah tangga, potongan rumput atau vegetasi lainnya, dan sejenisnya.
Bahan organik ini kelak akan dijadikan sumber energi bagi organisme di
dalam tanah sehinga aktifitas mereka akan meningkat. Dengan meningkatnya
aktifitas mereka maka akan semakin banyak biopori yang terbentuk.
Kesinergisan
antara lubang vertikal yang dibuat dengan biopori yang terbentuk akan
memungkinkan lubang-lubang ini dimanfaatlkan sebagai lubang peresapan
air artifisial yang relatif murah dan ramah lingkungan.
Manfaat Biopori
Berdasarkan Publikasi Tim Biopori IPB (2007) dijelaskan manfaat dari penerapan biopori adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan daya resapan air.
Kehadiran
lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang resapan
air, setidaknya sebesar luas kolom/dinding lubang. Sebagai contoh bila
lubang dibuat dengan diameter 10 cm dan dalam 100 cm maka luas bidang
resapan akan bertambah sebanyak 3140 cm2 atau hampir 1/3 m2. Dengan kata
lain suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diamater 10 cm,
yang semula mempunyai bidang resapan 78,5 cm2 setelah dibuat lubang
resapan biopori dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi
3218 cm2.
Dengan adanya aktivitas fauna tanah pada lubang resapan
maka biopori akan terbentuk dan senantiasa terpelihara keberadaannya.
Oleh karena itu bidang resapan ini akan selalu terjaga kemampuannya
dalam meresapkan air. Dengan demikian kombinasi antara luas bidang
resapan dengan kehadiran biopori secara bersama-sama akan meningkatkan
kemampuan dalam meresapkan air.
2. Mengubah Sampah Organik Menjadi Kompos
Lubang
resapan biopori "diaktifkan" dengan memberikan sampah organik
kedalamnya. Sampah ini akan dijadikan sebagai sumber energi bagi
organisme tanah untuk melakukan kegiatannya melalui proses dekomposisi.
Sampah yang telah didekompoisi ini dikenal sebagai kompos. Melalui
proses seperti itu maka lubang resapan biopori selain berfungsi sebagai
bidang peresap air juga sekaligus berfungsi sebagai "pabrik" pembuat
kompos. Kompos dapat dipanen pada setiap periode tertentu dan dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada berbagai jenis tanaman, seperti
tanaman hias, sayuran, dan jenis tanaman lainnya. Bagi mereka yang
senang dengan budidaya tanaman/sayuran organik maka kompos dari lubang
biopori adalah alternatif yang dapat digunakan sebagai pupuk sayurannya.
3. Memanfaatkan Fauna Tanah dan atau Akar Tanaman
Lubang
Resapan Biopori diaktikan oleh organisme tanah, khususnya fauna tanah
dan perakaran tanaman. Aktivitas merekalah yang selanjutnya akan
menciptakan rongga-rongga atau liang-liang di dalam tanah yang akan
dijadikan "saluran" air untuk meresap ke dalam tubuh tanah
Dengan
memanfaatkan aktivitas mereka maka rongga-rongga atau liang-liang
tersebut akan senantiasa terpelihara dan terjaga keberadaannya sehingga
kemampuan peresapannya akan tetap terjaga tanpa campur tangan langsung
dari manusia untuk pemeliharaannya. Hal ini tentunya akan sangat
menghemat tenaga dan biaya. Kewajiban faktor manusia dalam hal ini
adalah memberikan pakan kepada mereka berupa sampah organik pada periode
tertentu. Sampah organik yang dimasukkan ke dalam lubang akan menjadi
humus dan tubuh biota dalam tanah, tidak cepat diemisikan ke atmosfir
sebagai gas rumah kaca; berarti mengurangi pemanasan global dan
memelihara biodiversitas dalam tanah.
Dengan munculnya
lubang-lubang resapan biopori dapat dicegah adanya genangan air,
sehingga berbagai masalah yang diakibatkannya seperti mewabahnya
penyakit malaria, demam berdarah dan kaki gajah (filariasis) akan dapat
dihindari.
Cara Pembuatan Biopori
Cara pembuatan biopori adalah sebagai berikut:
1.
Buat lubang silindris secara vertikal ke dalam tanah dengan diamter 10
cm. Kedalaman kurang lebih 100 cm atau tidak sampai melampaui muka air
tanah bila air tanahnya dangkal. Jarak antar lubang antara 50 - 100 cm
2. Mulut lubang dapat diperkuat dengan semen selebar 2 - 3 cm dengan tebal 2 cm di sekeliling mulut lubang.
3. Isi lubang dengan sampah organik yang berasal dari sampah dapur, sisa tanaman, dedaunan, atau pangkasan rumput
4. Sampah organik perlu selalu ditambahkan ke dalam lubang yang isinya sudah berkurang dan menyusut akibat proses pelapukan.
5.
Kompos yang terbentuk dalam lubang dapat diambil pada setiap akhir
musim kemarau bersamaan dengan pemeliharaan lubang resapan.
C. Dampak Konversi Hutan Terhadap Erosi dan Penyerapan Air Tanah
Tidak
dapat dipungkiri, konversi hutan menjadi lahan pertanian khususnya pada
lahan miring merupakan kegiatan yang beresiko tinggi ditinjau dari
sudut pandang pengelolaan daerah tangkapan air. Masalah utama yang
dihadapi akibat adanya perubahan tutupan lahan pada lahan miring adalah
berubahnya fungsi hidrologi kawasan terebut. Sayangnya, penulis belum
dapat memperoleh hasil penelitian pada lokasi kebun sawit, untuk
pembahasan ini menggunakan kajian penelitan pada agroforestri berbasis
kebun kopi.
Hasil penelitian pada perkebunan kopi, meskipun pada
usia lebih dari 10 tahun ternyata tidak dapat melakukan peran penyerapan
air ke dalam tanah sebagaimana hutan awalnya (Widianto, dkk, 2004 dan
Hairiah, dkk 2004). Padahal karakter agroforestri kebun kopi memiliki
tanaman yang tidak homogen, ada tanaman pelindung, dan permukaan
tanahnya tidak dalam kondisi bersih. Tetapi banyak terdapat serasah yang
dimungkinkan hidup biota tanah yang lebih banyak.
Limpasan
permukaan dan kehilangan tanah merupakan salah satu akibat dari
perubahan kerapatan vegetasi penutup tanah dan kualitas struktur tanah.
Perubahan kualitas struktur tanah diduga sebagai akibat dari kegiatan
alih guna lahan, misalnya dari hutan menjadi kebun kopi di Sumberjaya
(Verbist dan Pasya, 2004).
Melihat kondisi tersebut, jika
dibandingkan dengan tanaman pekebunan kelapa sawit, atau tanaman tegalan
maka kehilangan tanah dan limpasan permukaan air ketika hujan akan
lebih tinggi. Meskipun belum didapat data yang pasti dari hasil
penelitian. Lahan tegalan biasanya sering tidak berpelindung tanaman,
jika terjadi hujan maka permukaan tanah akan terkena percikan langsung.
Tanah yang kebanyakan terbuka, tidak ada tanaman penutup permukaan akan
semakin mempercepat erosi.
D. Bio Engineering Desain
Permasalahan
yang dihadapi dalam pengendalian erosi lereng, terutama di daerah yang
memiliki curah hujan yang panjang dan tinggi sulit untuk dituntaskan
dalam jangka panjang. Desain yang ada selama ini adalah dengan membangun
kanal atau teras penahan material yang mengalir. Pada titik tertentu
akan meluap atau mengalir ke sisi penahan yang rendah. Akibatnya adalah
membuat aliran material baru seperti pada gambar 1 (Hengchaovanich,
1988, Truong dan Loch, 2004).
Solusi alternatif, sebagaimana
disebutkan adalah untuk menggunakan vegetasi, dalam hal ini akar wangi,
untuk membantu memperkuat lapisan 1-1,5 m permukaan tanah yang rawan.
Ketika akar akar wangi berinteraksi dengan tanah di mana ia tumbuh,
bahan komposit baru yang terdiri dari akar dengan kuat tarik tinggi dan
adhesi tertanam dalam matriks kekuatan tarik rendah terbentuk. Akar
Vetiver memperkuat tanah dengan transfer tegangan geser dalam tanah
matriks inklusi tarik. Dengan kata lain, kekuatan geser tanah
ditingkatkan oleh kolom akar (Hengchaovanich, 1988, Wijaya Kusuma,
2007).
Memperhatikan hal tersebut diatas, maka perlu didesain
dengan baik teras sering dengan menggunakan vetiver, yang ditanam
melintang dari kemiringan tanah. Sekitar 50 cm diatas jalur vetiver
dibuat biopori yang diisi bahan organik yang berfungsi sebagai penyerap
air. Kelebihan sistim vetiver ini adalah air akan tetap mengalir, akan
tetapi matrial tanah yang diangkut akan tertahan oleh tanaman vetiver.
Berbeda dengan teras siring yang dibangun dengan membuat tanggul, maka
aliran air akan membelok dan membentuk saluran baru. Luapan air yang
tertahan oleh tanaman vetiver sebagaian juga akan terserap di dalam
tanah melalui biopori.
Penanaman vetiver sebagai penahan erosi dan
kolom tanah dengan jarak 10 cm, pertumbuhannnya yang cepat dalam waktu
kurang dari 6 bulan akan rapat. Penanaman vetiver dengan cara stek,
sebagaimana tanaman lain. Akan baik jika dibibitkan di polybag.
Sedangkan
pembuatan biopori dengan jarak dari vetiver 50 – 100 cm dengan jarak
antar lobang biopori 100 cm, kedalamam biopori 80 – 100 cm. Pada
permukaan biopori dapat diberi paralon dengan panjang sekitar 10 cm.
Kegunaannya untuk menghindari agar tanah permukaan sekitar lobang tidak
tergerus menutupi lobang. Sampah yang dimasukkan adalah sampah segar
dari sekitar lokasi, yang berfungsi untuk pengkomposan, mengundang biota
tanah dalam proses dekomposisi sampah tersebut, dan membuat biopori di
dalam tanah yang akan memperlebar area serapan air. Pada periode
tertentu sampah ini dapat dipanen sebagai pupuk kompos.
E. Cara Kerja Teknologi Vetiver dan Bio Pori pada Konservasi Degradasi Tanah
Degradasi
tanah terjadi pada tiga aspek, yaitu fisika, kimia dan biologi. Melalui
bioengineering menggunakan vetiver dan biopori dapat dikendalikan.
Penerpaan teknologi ini dapat membuat kualitas tanah tetap terjaga dan
lestari.
Kerusakan struktur tanah yang diakibatkan oleh erosi yang
berlebihan, dapat dikendalikan dengan penanaman vetiver. Penanaman
vetiver yang memanjang mengikuti kontur tanah dapat sebagai tanggul
hidup pada teras sering. Serasah, humus dan juga partikel tanah seperti
debu, liat dan pasir akan terjaring oleh rumpun-rumpun vetiver.
Sekalipun terjadi perpindahan tanah tidak akan terlalu jauh. Dengan
demikian kerusakan struktur tanah dapat terkurangi.
Pemadatan
tanah yang akibat aktivitas di permukaan lahan pertanian dapat
dikendalikan dengan penerapan teknologi biopori. Lubang biopori yang
telah dibuat yang mengikuti tanggul hidup vetiver, setelah diisi dengan
sampah organik akan menjadi tempat tinggalnya organisme pengurai,
seperti jangkrik, cacing hingga mikro organisme. Aktivitas mereka ini
sebenarnya yang menciptakan biopori secara alamiah pada lobang biopori.
Sebagaimana kita ketahui aktivitas organisme pengurai ini yang
memberikan banyak hara yang bermanfaat bagi tanaman. Disamping itu tanah
akan menjadi gembur.
Ketersediaan bahan organik di dalam tanah
akan memberikan perbaikaan kualitas kimia tanah. Penulis belum dapat
menunjuk argument ini, karena belum ada penelitian dampak biopori
terhadap kimia tanah. Tetapi secara teoritis dengan adanya aktivitas
mikro organisme, tentunya akan ada pengurai dari zat-zat kimia yang
menjadi residu di dalam tanah, seperti residu pospat.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Perubahan permukaan tanah akibat adanya konversi hutan menjadi
perkebunan tidak dapat meyerap air ke dalam tanah sebaik kondisi hutan
meskipun pada perkebunan yang didesain sebagai agroforestri. Dengan
demikian akan lebih rendah serapannya dan lebih tinggi terjadi erosi
pada lahan pertanian yang monokultur dan pada lahan terbuka seperti
tegalan.
2. Penerapan vetiver sabagai tanaman tanggul teras
tanah yang dikombinasikan biopori akan menahan laju erosi dan memberikan
kesempatan permukaan tanah untuk meyerap air permukaan didalam tanah.
Tertahannya air oleh vetiver dan masukkanya air ke lubang biopori
memberikan ruang serapan air ke dalam tanah.
3. Kombinasi teknologi vetiver dan biopori dapat menjaga dan memperbaiki kualitas tanah secara fisika, kimia dan biologi.
Dengan
demikian teknologi ini dapat disarankan untuk diterapkan terutama pada
lahan pertanian monokulutur atau tegaral terutama yang berkontur miring.
Disamping untuk memberikan perluasan muka penyerapan air juga akan
memperbaiki kualitas tanah dengan pemberian bahan organik. Pengkomposan
bahan organik tersebut akan menjadi tambahan asupan unsur hara bagi
tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2002, Laporan Statistik Lingkungan Hidup Tahun 2002
Anonim, 2010, Laporan Kegiatan Workshop Citarum River Restoration Using Alternative Technology, http/www.citarum.org/upload/upload/Laporan% 20Kegiatan%20Workshop%20Citarum%20River.pdf diunduh 10 April 2010.
Anonim, 2009. Vetiver, rumput perkasa penahan erosi, http/balitbang.pu.go.id/saritek/ saritek%20jatan/11.VETIVER.pdf diunduh 10 April 2011
Arsyad S, 1983, Konservasi Tanah dan Air, Diktat Kuliah Institut Pertanian Bogor.
Balai
Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2007. Petunjuk Teknis
Teknologi Konservasi Tanah dan Air, Badan Penelitian dan Pengemangan
Pertanian, Departemen Pertanian.
Balai Besar Litbang Sumberdaya
Lahan Pertanian, 2007. Petunjuk Teknis Teknologi Pengendalian Longsor,
Badan Penelitian dan Pengemangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Booth DJ dan N. A Adinata, 2004, Rumput Vetiver tanaman alternative untuk KTA, www.eastbalipovertyprojet.org.
Ghofar
N, LM Lee, dan A Kassim, 2006. Effect Of Surface Boundary Condition On
Rainfall Infiltration, Jurnal Teknologi, 44(B) Jun 2006: 63–70.
Hairiah
K, D Suprayogo, Widianto, Berlian, E Suhara, A Mardiastuning, RH
Widodo, C Prayogo, dan S Rahayu, 2004 Alih Guna Lahan Hutan Menjadi
Lahan Agroforestri Berbasis Kopi Ketebalan Seresah, Populasi Cacing
Tanah Dan Makroporositas Tanah, AGRIVITA VOL. 26 NO.1 Maret 2004 hal
68-80
Hengchauvanich, 1988, Vetiver system for stabilization, APT Consult Co Ltd. Bangkok, Thailand.
Khasanah
N, B Lusiana, Farida dan MV Noordwijk, 2004 Simulasi Limpasan Permukaan
Dan Kehilangan Tanah Pada Berbagai Umur Kebun Kopi, AGRIVITA VOL. 26
NO.1 Maret 2004 hal 81-89.
Meeting Report, 2004, Vetiver system
ecotechnology for water quality improvement and environmental
enhancement, Current Science Vol 86 No 1 10 Januari 2004.
Nurhajati Hakim.Dr, dkk, 1986, Dasar-dasar Ilmu Tanah, Universitas Lampung.
Pangestu, Alex, 2011. Bor Biopori dari Jawa Tengah Lebih Efisien. http/nationalgeographic.co.id/lihat/berita/678/bor-b... diunduh 9 Desember 2011.
Pusat Litbang SDA, 2008, Teknologi Pengendalian Pencemaran Air Di Indonesia, http/www.pusair-pu.go.id/artikel/kedua.pdf diunduh 10 April 2011
Widianto,
D Suprayogo, H Noveras, RH Widodo, P Purnomosidhi, dan MV Noordwijk,
2004. Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Apakah Fungsi
Hidrologis Hutan Dapat Digantikan Sistem Kopi Monokultur? AGRIVITA VOL.
26 NO.1 Maret 2004 hal 47 - 52
Wijayakusuma R. 2007, Stabilisasi
lahan dan fitoremediasi dengan vetiver system, makalah Green Design
Seminar, 26 – 29 Juli 2007 di Prigen Pasuruan Jawa Timur.
Setiawan
D, D Tambas dan H Hanum, 2008. Prosedur Analisis Fungsi Lansekap Untuk
Menilai Tingkat Kepulihan Kondisi Lahan Revegetasi Pasca Tambang
Batubara Di Bukit Asam (Tanjung Enim), Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan
Vol. 8, No. 1 (200 p: 1-7
Suara Merdeka, 2007, Mencegah banjir lewat serapan lubang biopori, http/ikankoi.wordpress.com/2007/03/01/mencegah-banjir-lewat-lubang-serapan-biop... diunduh 13 April 2011.
Sutanto,
Rahman, 2002, Gatra Tanah Pertanian Akrab Lingkungan Dalam Menyongsong
Pertanian Masa Depan, Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol 3 (1) (2002)
pp 29-37.
Tim Biopori IPB, 2007 Biopori, http/www.biopori.com, diunduh 13 April 2011.
Tim Biopori IPB, 2007 Keunggulan dan Manfaat Biopori, http/www.biopori.com/keunggulan_lbr.php, diunduh 13 April 2011.
Verbist,
B. dan G. Pasya. 2004. Perspektif Sejarah Status Lahan, Kawasan Hutan,
Konflik dan Negosiasi di Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat – Propinsi
Lampung. Agrivita 26 (1): 20-28
0 Komentar
Terima kasih telah mengunjungi blog ini. Silahkan masukkan komentar anda