Oleh :
Anton Sutrisno
Terkadang dalam melakukan pembangunan, baik
dalam bentuk yang bertujuan konstruktif maupun ekploitatif, dampaknya
sampingnya kurang diperhatikan. Apalagi yang berkaitan dengan daya dukung alam,
atau pun daya dukung sarana yang dibangun oleh kita sendiri. Semuanya demi
kepentingan ekonomi semata yaitu keuntungan yang lebih besar. Keadaan ini yang
kita alami, mulai meresahkan masyarakat.
Penambangan batu bara yang berdampak pada rusaknya jalan utama. Pengambangan
pasir yang mempercepat abrasi. Belum kita memikirkan reklamasi eks penambangan.
Lahan ratusan hektar tidak dapat dimanfaatkan kembali untuk jangka waktu yang
lama.
Memang pembangunan ada resiko yang harus
ditempuh. Tentunya pertimbangan cost-benefit yang memadai sebagai dasar
acuannya. Melalui tulisan ini kita mencoba untuk menelaahnya.
Dua Kutub Pembangunan
Menurut Edison Nainggolan (1994) bahwa dunia
bisnis kadang-kadang menghadapi dua kutub yang berlainan. Di satu fihak bisnis
mengharapkan profit (keuntungan) yang maksimal, yaitu dengan memperoleh
output yang optimum dengan biaya yang dibayar seminimum mungkin, dengan
mengurangi biaya yang tidak jelas pengeluarannya, atau kurang mendukung
peningkatan output.
Di pihak lain, bisnis mempunyai tanggung
jawab dengan lingkungan dimana ia beroperasi. Lingkungan menuntut berbagai hal
yang kadang-kadang membuat efisiensi perusahaan terganggu, yaitu pengalokasian
biaya untuk memenuhi tuntutan tersebut yang akan mengurangi nilai bisnis.
Pembangunan memang tidak selamanya bernilai
positif akan tetapi ada dampak samping pembangunan yang bernilai negatif
terhadap lingkungan. Sebagai jalan tengahnya adalah dengan pembangunan yang
berwawasan lingkungan. Pembangunan yang hanya berorientasi pada profit
telah banyak menimbulkan kerusakan pada lingkungan. Kerugian yang harus
diterima masyarakat sangatlah besar dibanding dengan keuntungan yang
diperolehnya, bahkan kebanyakan keuntungan dari pembangunan hanya dirasakan
oleh segelintir orang saja.
Kerusakan itu sangat terasa apabila telah
terjadi pergeseran nilai sumberdaya alami. Sebagai contoh adalah sumber daya
alami seperti air bersih dan udara segar. Itu adalah anugrah Allah SWT untuk
siapa saja. Untuk semua makhluknya di bumi ini. Semua manusia berhak untuk
mendapatkan dan menggunakan sepuas-puasnya. Sekarang, air bersih dan udara
segar telah menjadi barang yang tidak dapat diperoleh dengan bebas. Orang telah
berani membayar mahal untuk tinggal di vila di pegunungan yang berudara sejuk
dan segar. Ini menunjukkan bawha sumberdaya alam bebas itu telah menjadi mahal
harganya di daerah tertentu.
Dapat kita lihat contoh yang lain adalah air
mineral dibanding dengan minyak tanah, harganya hampir berimbang. Jika dilihat
dari proses produksinya maka akan mahal proses penambangan minyak tanah dari
minyak bumi dibandingkan dengan proses ozonisasi air pengunungan. Akan tetapi
karena nilai pentingnya maka air mineral yang sudah dikemas dalam botol menjadi
lebih mahal.
Fachrurozi Syarkowi (1993) mengemukakan
bahwa kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup pada hakekatnya berasal dari
kemunduran sumberdaya. Indikasinya adalah sebagai berikut: 1. Menciutnya
sumberdaya alam yang dapat habis, tadinya berlimpah. Diiringi dengan terjadinya
kerusakan ekosistem total. 2. Menciutnya jumlah sumberdaya hayati hingga ke
titik keritis daya pulih suatu spesies untuk bertahan hidup. 3. Menciutnya
jumlah sumberdaya yang bebas, yang mengalir begitu saja untuk dinikmati
manusia, seperti air yang tidak bersih lagi, udara yang tidak segar lagi. 4.
Menciutnya sumberdaya segar sebagai akibat dari kegiatan produksi yang
memanfaatkan daya asimilasi lingkungan untuk menguraikan sisa dan buangan dari
proses produksi.
Kealpaan Pasar (Market Failur)
Dijelaskan lebih lanjut bahwa permasalahan
tersebut disebabkan oleh adanya kealpaan pasar yang dilakukan oleh pelaksana
pembangunan baik pemerintah maupun swasta dan pera pembuat keputusan. Maksudnya
adalah selama ini kita telah teledor dalam memandang sumberdaya alam. Yaitu
tidak memandang sumberdaya alam itu secara ekonomis atau memandang sumberdaya
alan secara nilai hakikinya sebagai suatu kekayaan (asset) masyarakat
sekarang maupun yang akan datang.
Kealpaan pasar ini disebebakan oleh tiga
faktor yaitu: pertama, ketiadaan Hak Pemilikan Terkukuhkan, yang
menyebabkan kegagalan pasar dalam mengendalikan perilaku orang banyak. Faktor
ini banyak terjadi pada sumberdaya alam yang dikuasai negara (UUD 1945 pasal
33), karena tidak jelas siapa yang bertanggung jawab kepemilikan sumberdaya
alam tersebut, maka terjadi over ekspoloitasi yang berakibat menjadi rendah
harganya dan pemborosan atau pemubaziran sumberdaya.
Kedua, dampak sampingan dari kegiatan produksi
terhdap mutu media lingkungan yang seringkali tidak disadari masyarakat. Dampak
sampingan ini dapat positif dan negatif. Akan tetapi selama ini oleh masyarakat
dampak sampingan negatif kurang diperhatikan. Produsen atau pelaku usaha tidak
terdorong untuk memperhitungkan biaya
sosial yang berupa “penderitaan masyarakat” ke dalam struktur biaya
produksinya.
Kebanyakan terjadi adalah seluruh biaya
produksi harus ditanggung oleh konsumen. Sejak dari ongkos produksi, laba
produksi dan biaya pendertiaan semuanya dibebankan oleh produsen kepada
konsumen. Padahal konsumen telah menderita akibat adanya dampak negatif dari
perusahaan. Seharusnya yang dilakukan oleh produsen adalah ikut menanggung
biaya penderitaan konsumen atau masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan
memperkecil dampak sampingan dengan biaya yang dikeluarkan tidak sepenuhnya
dibebankan kepada konsumen atau dapat dilakukan melalui bentuk rehabilitasi
sosial dengan biaya sosial yang diambilkan dari keuntungan perusahan.
Ketiga, adanya biaya ikutan dalam pemanfaatan
sumberdaya alam yang terbuang akibat adanya eksplorasi sumberdaya alam lain.
Biaya ikutan sering terjadi pada pembangunan atau penggalian sumberdaya alam
bersekala besar. Sebagai contoh penambangan batu bara, alih fungsi hutan
menjadi perkebunan kelapa sawit. Kekayaan yang terdapat di permukaan bumi tidak
dinilai harganya. Vegetasi dan berbagai spesies maupun tanahnya tidak dinilai
kualitas maupun kuantitasnya. Dinilai hanyalah hasil akhirnya saja. Padahal
tumbuhan hewan diatas maupun didalam tanah sebelumnya merupakan bagian dari
keseimbangan alam. Mudah kita lihat, sekarang banyak lahan rawa gambut yang
menjadi kering pada saat yang bersaamaan apabila terjadi hujan mudah banjir.
Saya juga menduga proses penambangan yang ada di daratan ini telah mempengaruhi
volume tanah yang kita pijak, sehingga tidak mempunyai kekuatan dalam
pergeseran lempeng. Dapat kita bayangkan, telah berjuta barel minyak dari dalam
bumi disedot, tentunya akan meninggalkan rongga di dalam bumi. Ditambah rongga
yang diciptakan dipermukaan bumi.
Setelah melihat ketiga faktor tersebut
diatas, maka pemerintah harus mengambil kebijakan yang memihak kepada rakyat
dengan mempertimbangkan sosial ekonomomi sumberdaya alam yang berkelanjutan.
Pemerintah selaku pengawas dan pelaksana pembangunan. Janganlah ikut sebagai
pelaku yang mendukung penghancuran daya sumberdaya yang ada.
Bagi produsen atau pengusaha harus
benar-benar menjalankan usahanya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Harus
benar-neran layak tidak akan mengakibatkan dampak negatif yang membahayakan
masyarakat sekitar baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bagi kita semua mari kita jaga alam, bumi
dan sisinya yang merupakan titipan Allah SWT. Karena ada hak anak cucu kita.
Jadilah sebagai khalifah yang mampu memegang amanah.
(Anton Sutrisno, pemerhati masalah-masalah sosial ekonomi tinggal di
Bengkulu Utara)
Arga Makmur, 31 Oktober 2009
0 Komentar
Terima kasih telah mengunjungi blog ini. Silahkan masukkan komentar anda