Sering kita mendengar
ungkapan “Ini pendapatku, itu pendapatmu”. Ungkapan itu muncul akibat adanya
pandangan yang berbeda dari dua orang atau lebih dalam menilai sesuatu. Hal ini
tentu sering dialami oleh semua orang, apakah itu muncul dari orang awam atau
kalangan intelektual sekalipun.
Sebagai contoh dapat
dikemukakan disini. Persepsi masyarakat terhadap penilaian tingkat kerusakan
yang diakibatkan oleh gempa bumi Bengkulu 7,9 SR tanggal 12 September 2007
lalu. Perbedaan ini terjadi dalam penilaian satu objek kerusakan yang dilakukan
oleh masyarakat sendiri, perangkat desa, tim satkorlak kecamatan sampai
kabupaten bahkan tim provinsi. Persepsi inilah yang mengakibatkan terjadinya
“konflik” dalam penyaluran bantuan. Masyarakat banyak yang melakukan complain
dengan argumen mengapa yang rusak lebih besar atau lebih parah diberi label
kuning, sementara ada ringan diberikan label merah. Tentunya ini berdasarkan
persepsi masyarakat yang berbeda dengan tim yang memberikan label tersebut.
Pemikiran relative ini ternyata, bila dikaji lebih dalam, pada pandangan objek tertentu dapat membahayakan bagi seseorang. Jika tidak direnungkan lebih jernih akan menggiring seseorang kepada sikap mengingkari adanya penciptaan atau peran penciptaan Allah SWT. Dengan pengingkaran terhadap fakta penciptaan ini maka membuat seseorang dapat mengingkari terhadap penciptaNya. Pada kesempatan ini kita mencoba untuk mendiskusikan bahaya pola pikir relativisme terhadap seseorang dan dampak bagi dirinya dan lingkungannya.
Contoh kasus diatas adalah
menggambarkan pola pemikiran relativisme. Segala sesuatu itu relatif terhadap
subyek yang memandang sesuatu itu. Seseorang yang menilai sesuatu tergantung
dari informasi yang diperoleh seseorang itu dari lingkungannya. Informasi
itulah yang akhirnya membentuk pola fikir (fikroh). Pola fikir ini yang
akan menjadi kerangka landasan seseorang dalam menilai dan melaksanakan
sesuatu.
Pola fikir reltivisme ini
semakin populer setelah dikemukakannya teori relaitivitas oleh Albert Einstein
dalam postulatnya pada poin yang pertama yang berbunyi “ sesuatu bergerak dapat
dikatakan bergerak secara relatif terhadap benda lain”. Dalam kehidupan kita
dapat dicontohkan adalah 2 orang yang sedang naik mobil, bagi dia yang ada di
dalam mobil tidak bergerak, tetapi hanya duduk saja padahal menurut yang
melihatnya di pinggir jalan dia bergerak bersama mobil. Ini menunjukkan 2 orang
bergerak relatif terhadap orang yang melihat di pinggir jalan. Atau kita yang berada
di dalam kereta api melihat tiang listrik bergerak menjauhi kita. Menurut orang
yang ada didalam kereta api tiang listrik yang bergerak, padahal dia tetap
tertancap ditanah.
Relativitas merupakan
hasil perkembangan fisika modern. Seiring dengan perkembangan teknologi
penyebarannya, maka pemikiran itu telah menjadi pola pemikiran banyak orang
saat ini. Akibatnya adalah apabila penerapannya tidak proporsional maka akan
membahayakan diri manusia itu sendiri. Seseorang akan menilai segala sesuatu
atau orang lain, berdasarkan persepsi
atau selera masing-masing. Sehingga kebenaran itu berdasarkan pada pada
penilainya, tidak ada kebenaran yang hakiki. Gejala demikian ini banyak menimpa
dikalangan generasi muda dan intelektual, yang menerapkan kebebasan berfikir.
Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi. Sifat kritis, termasuk kritis dalam
beragama sangat diharapkan sehingga akan ditemukan keyakinan yang mantap.
Kita dapat melihat
tanda-tanda kekuasaan Allah SWT pada mahluk ciptaannya, yaitu alam semesta,
bumi, langit dan seisinya. Tanda tanda itu merupakan sunnatullah atau hukum
alam (law of nature) yang tetap. Sebagaimana firman Allah pada QS 30:30 “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama Islam, sesuai dengan fitrah Allah
disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”.
Hukum alam yang Allah ciptakan tidak mengalami perubahan, dia tetap berlaku dan berjalan sampai berakhirnya dunia ini. Untuk memahaminya manusia sudah dianugrahi akal. Akal juga memiliki fitrah berupa kaidah-kaidah dalam melakukan pemikiran dan analisis terhadap permasalahan yang dihadapinya. Ketika akal mendapatkan informasi atau melihat objek, secara otomatis akal bekerja untuk melakukan identifikasi terhadap informasi atau objek itu. Proses indentifikasi berjalan berdasarkan hukum logika. Misalnya seseorang yang melihat benda. Benda yang dilihtanya pasti memiliki jumlah, meskipun dia tidak sanggup untuk menghitungnya. Apabila ada orang yang melihat benda dan tidak mengakui jumlahnya (satu, dua, tiga atau banyak) maka orang tersebut dapat dikatakan mengalami kelainan mental. Karena salah satu hukum logika menyatakan bawa sesuatu benda itu memiliki jumlah karana sunnatullah (hukum alam) benda menermpati ruang dan mempunyai massa.
Letak persoalan yang harus kita fahami didalam berfikir atau memahami/menganalisa sesuatu adalah bagaimana kita memandang objek, bukan pada objeknya. Sifat dasarnya adalah obyektif oleh karenanya hukum logika yang melihat subyek pada manusia dengan sendirinya bersifat obyektif. Jika hukum logika sifat dasarnya relative maka manusia tidak akan pernah berhasil memahami hukum alam yang bersifat mutlak, atau yang dikenal dengan pasti. Sehingga muncul adanya ilmu pasti seperti ilmu fisika, kima, biologi, sosiologi dan lain sebagainya.
Orang yang mengingkari
adanya hukum mutlak, menunjukkan kebobohannya terhadap hukum logika atau sedang
mengalami kelainan mental. Jika orang tersebut belum memahami hukum logika,
dianjurkan untuk kembali mempelajari ilmu pasti (matematikan dan ilmu
pengetahuan alam). Ilmu tersebut yang akan membimbing kepada pemahaman
kaidah-kaidah logika yang dimiliki oleh akal manusia dengan menggambarkannya
melalui huruf dan angka yang sederhana, dikenal adanya rumus atau formula.
Apabila ada orang yang
mengingkari kebenaran Al Quran sebagai wahyu Allah yang bersifat mutlak,
berarti orang tersebut tidak memahami hukum logika. Atau dapat dikatakan
sebagai orang yang ideot. Dikenal dalam dalam sejarah klasik sebagai orang
jahiliyah (kebodohan).
Kemudian kita juga sering
mendengar adanya pernyataan “ini semua merupakan karya manusia, sedangkan
manusia tidak lepas dari kelemahan”. Pernyataan ini bisa benar tidapi tidak
benar. Manusia benar diciptakan sebagai mahluk lemah (dhoif). Tetapi dalam
memandang suatu masalah bukan terletak pada manusianya, akan tetapi pada objek
yang sedang dipermasalahkan. Apakah objek itu bersifat relative atau mutlak.
Jika kita mengatakan objek itu relativ padahal objek tersebut ciptaan Allah,
berarti telah terjadi perubahan hukum alam. Dengan kata lain kita menganggap
Allah selalu merenovasi hasil ciptaanya. Berati Allah tidak sempurna dan banyak
kelemahan-kelemahan, sehingga perlu adanya perbaikan-perbaikan. Gambaran
demikian ini jelas menunjukkan sikap kekafiran terhadap Allah SWT yang maha
sempurna.
0 Komentar
Terima kasih telah mengunjungi blog ini. Silahkan masukkan komentar anda